Beranda | Artikel
Saat Tepat Berinfak
Kamis, 15 September 2022

Membicarakan infak, al-hamdulillah, fenomena yang nampak di tengah kaum muslimin, mereka sangat antusias menyisihkan sebagian kekayaannya di jalan Allah سبحانه وتعالى . Penggalangan dan penyadaran berinfak marak dimana-mana. Tak sedikit dana infak yang tersalurkan kepada yang berhak menerimanya. Sungguh hal ini merupakan sebuah pemandangan yang menggembirakan.

Perbuatan yang baik ini, tentunya perlu mendapat perhatian dan motivasi ekstra, karena memang infak memiliki nilai yang sangat penting. Yaitu sebagai wujud kepedulian sebagai muslim, seperti kepada masyarakat yang kurang mampu, pembangunan sarana pendidikan Islam, penguatan sektor ekonomi, menciptakan suasana keakraban dan kasih-sayang, serta senasib-sepenanggungan antara sesama muslim.

Seringkali Allah سبحانه وتعالى menyandingkan antara shalat dengan infak. Sebabnya shalat adalah hak Allah سبحانه وتعالى dan jembatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam shalat terkandung unsur tauhid, sanjungan dan pujian kepada Allah سبحانه وتعالى . Sedangkan infak, adalah perlakuan baik kepada sesama dengan sesuatu yang bermanfaat. Pihak yang paling berhak menerimanya, ialah kaum kerabat, keluarga, hamba sahaya dan orang-orang asing (yang membutuhkan) yang tidak terikat dengan pertalian keluarga.1

MANFAAT INFAK DALAM PEMBENTUKAN MASYARAKAT YANG KUAT DAN KOKOH

Salah satu sifat kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) yang termaktub dalam surat al-Baqarah, mereka menyisihkan sebagian rizki yang mereka terima untuk diinfakkan di jalan Allah سبحانه وتعالى .

الۤمّ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ

Alif lâm mîm. Kitab (Al-Qur‘ân) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Qs. al-Baqarah/ 2: 1-3).

Kepedulian melakukan perbuatan yang simpatik itu, terdorong oleh pengakuan hati, bahwa harta kekayaan yang diperolehnya adalah milik Allah سبحانه وتعالى . Harta adalah amanah dari-Nya, yang nantinya akan ditanyakan bagaimana cara mengelola dan mendistribusikannya.

Dengan pengakuan ini, maka akan mampu mendorong munculnya rasa solidaritas dan ingin berbagi kepada sesama umat manusia, terutama kaum dhu’afa‘ (orang-orang lemah). Perasaan senasib-sepenanggungan tertanam dengan kuat dalam hati mereka. Keimanan telah memotivasinya untuk berderma kepada sesama yang membutuhkan. Rasulullah ﷺ bersabda:

والصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

Sedekah adalah burhân (bukti keimanan).

Dari sisi ini, jiwa akan menjadi bersih dari sifat kikir dan bakhil. Kehidupan akan dipenuhi dengan ketenangan, saling memahami, saling bekerjasama antara anggota masyarakat. Suasana kehidupan akan terhindar dari pertikaian dan permusuhan.

Apalagi dengan situasi ketika harga kebutuhan semakin mahal. Beras seolah menjadi barang mahal bagi sebagian keluarga. Sehingga tak terhindarkan, nasi aking pun menjadi santapan rutin setiap harinya. Kebutuhan lainnya kian melambung tinggi dan sebagian barang sulit dijumpai. Dalam kondisi berat seperti ini, uluran tetangga, para dermawan ataupun bantuan finansial dan material, tentu akan menggembirakan dan mengobati kepedihan para kaum dhuafa. Hidup bagi mereka menjadi lebih bersahabat.

KAPAN BERINFAK?

Bersedekah dan berinfak merupakan perbuatan terpuji dan termasuk sifat dari orang-orang pilihan. Jika demikian, lantas kapan seseorang semestinya menyisihkan pendapatannya untuk berinfak? Apakah seseorang yang berinfak harus terlebih dulu menjadi seorang hartawan yang kaya raya dan berlimpah uang, baru kemudian menyedekahkan sebagian hartanya? Ataukah bagaimana?

Para sahabat pernah menanyakan permasalahan ini kepada Rasulullah ﷺ , yaitu setelah beliau ﷺ melontarkan himbauan untuk bersedekah.2 Pertanyaan mereka terjawab melalui firman Allah سبحانه وتعالى berikut :

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan .Katakan: Yang lebih dari keperluan (Qs. Al Baqarah/2 : 219)

Ayat di atas memuat pertanyaan mengenai kadar harta yang diinfakkan. Kemudian Allah سبحانه وتعالى memudahkan urusan ini dan memerintahkan mereka untuk menginfakkan harta yang ringan menurut mereka, tidak berkait dengan kebutuhan dan keperluan mendesak mereka. Atau dengan bahasa lain, harta yang diinfakkan diambilkan dari harta yang sudah melebihi kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan.3

Keterangan ini bertolak dari makna kata “al-’afwu” yang termaktub dalam ayat yang mulia di atas. Imam Ibnu Jariir t meriwayatkan dengan sanad hasan dari Ibnu ‘Abbaas c , al-’afwu, berarti, kadar yang melebihi kebutuhan keluarga.4

Tidak beda dengan keterangan di atas, Imam al-Qurthubi t mendefinisikannya sebagai sesuatu yang ringan, berlebih (sisa), dan seseorang tidak merasa berat untuk mengeluarkan (melepaskannya). Lebih lanjut, beliau menjelaskan tentang ayat di atas: “Pengertiannya, berinfaklah dengan (nominal) yang sudah melebihi kebutuhan, dan tidak mengganggu diri kalian. Agar kalian tidak menjadi orang-orang yang bergantung kepada orang lain nantinya”.5

Terlintas dalam penuturan Imam al-Qurthubi t , manfaat dari ketetapan tersebut. Yaitu, supaya seseorang tidak malah mengalami kekurangan setelah berinfak, hingga membutuhkan bantuan orang lain untuk menutupi kebutuhannya.

Seseorang, kalau mengeluarkan sedekah yang banyak bisa menyesal dan malah membutuhkan (bantuan orang lain). Memberikan sedekah dengan jumlah sedikit, tetapi dilakukan dari waktu ke waktu lebih membekas pada keimanan dan lebih bermanfaat bagi hartanya”.6

Keterangan di atas merujuk sabda Rasulullah ﷺ :

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Sebaik-baik sedekah, ialah sedekah yang dikeluarkan di luar kebutuhan. (HR al-Bukhâri dan Muslim).

Jumhur ulama mengartikan hadits di atas, yaitu dalam infak-infak yang bersifat tathawwu’ (sukarela).

BAGAIMANA DENGAN ABU BAKR ASH-SHIDDIQ رضي الله عنه ?

Sejarah menceritakan, Abu Bakr ash-Shiddîq رضي الله عنه ialah seorang yang sangat dermawan. Kontribusi finansialnya di jalan Allah begitu besar. Pada suatu hari Rasulullah ﷺ memobilisasi sahabat untuk bersedekah. Kemudian Abu Bakar رضي الله عنه menyerahkan seratus persen kekayaannya kepada Rasulullah ﷺ . Sepeser pun tidak disisakan bagi keluarganya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قال: أمرنا رسول الله ﷺ يومًا أَن تتصدَّقَ فوافق ذلك مالاً عندي فَقُلْتُ اليومَ أســــبــِقُ أبا بكرٍ إن سبقتُهُ يومًا فجئتُ بِنِصْفِ مالي فقال رسول اللہ ﷺ ما أبقيتَ لأهلكَ قلتُ مثلهُ قال وأتى أبو بكرٍ رضي الله عنه بكلِّ ما عنده فقال له رسول اللہ ﷺ ما أبقيت لأهلك قال أبقيت لهم الله ورسولَهُ قلتُ لا أسابقك إلى شيءٍ أَبَدًا (حسنه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

Dari ‘Umar bin al-Khaththâb, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami untuk bersedekah. Perintah ini bertepatan dengan kondisiku yang sedang memiliki sejumlah kekayaan. Lantas aku berkata: ‘Hari ini, aku akan mengalahkan Abu Bakar, karena aku tidak pernah mengalahkan walau sehari saja,’ maka aku pun datang dengan membawa separo dari hartaku. Rasulullah bertanya kepadaku:’Apa yang engkau tinggalkan bagi keluargamu?’ Aku menjawab: ‘Semisalnya.’ Kemudian datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau tinggalkan bagi keluargamu?’ Ia menjawab,’Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya’.” Aku (Umar) berkata: “Aku tidak akan mampu mengalahkan Abu Bakar selamanya”. (HR Abu Dawud. dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni).

Footnote:

1 Ringkasan dari Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, 1/170

2 Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (1/583)

3 Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 89, Adhwâ‘ul-Bayân, 1/38.

4 At-Tafsîr ash-Shahîh, 1/331.

5 Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân, 3/60.

6 Ahkâmul-Qur‘ân, 1/202.


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/saat-tepat-berinfak/